Hanya
sepatah kata, bisa mengubah keadaan secara strategis. Maka hati-hatilah
Sembari
meneguk teh hangat yang disediakan istrinya, seperti biasa Pak Banu mulai
bercerita, “Payah aku menghadapi tingkah si Haris itu. Mentang-mentang
titelnya insinyur, sukanya selalu menentang pendapatku”. Dalam benak Bu
Banu, segera terbayang sosok Bu Haris, yang usaha cateringnya katanya
laris, padahal menurutnya masakan Bu Haris kurang sedap.
“Memangnya
ada masalah apa lagi?” Tanya Bu Banu antusias. “Kali ini ia menentang
ideku untuk mengadakan wisata ke Bali bagi guru-guru di akhir tahun.
Padahal dia kan baru dua cawu mengajar di sekolah, berani-beraninya
meremehkan aku yang sudah empat tahun jadi kepala sekolah.” sungut Pak
Banu kesal.
“Orang
seperti itu kok didengarkan. Dia itu sama saja dengan istrinya. Kalau
bicara sok tinggi sekali,” timpal Bu Banu sambil tak lupa meyorongkan
bibirnya. “Masalahnya ada banyak guru yang mendukung pendapatnya,”
suara Pak Banu terdengar ragu-ragu. Dengan sinis istrinya pun berkomentar,
“Ah, gitu aja kok repot. Bikin langsung saja kepanitiaan, nggak usah
nanya-nanya pendapat lagi. Kalau dia masih protes, singkirkan saja. Itu
kan hak Bapak.” Mendengar saran istrinya itu, Pak Banu tercenung, dan
sebentar kemudian mengembang senyum di sudut bibirnya.
Hati-hati
Berkomentar
Bagaimana
pendapat Anda jika ternyata Pak Banu benar-benar menjalankan saran
istrinya itu? Barangkali akan terjadi peristiwa besar yang di luar
perkiraannya. Bisa jadi guru-guru lain menjadi tak puas, lalu berdemo,
menuntut mundurnya Pak Banu, atau mogok mengajar, atau bahkan sampai ke
meja hijau? Di jaman reformasi seperti ini, resiko-resiko semacam itu
sudah bukan barang langka lagi.
Jika
akibat buruk yang akhirnya menimpa Pak Banu, maka tinggal kekecewaanlah
yang terus menerus menggantung dan mewarnai kehidupannya selanjutnya.
Padahal awal persoalannya hanya dari sentilan komentar Bu Banu yang sedang
emosi. Hanya sebuah kalimat, yang mampu mengubah seratus delapan puluh
derajat warna kehidupan keluarga Pak Banu.
Tepat
sekali sebuah sabda Rasulullah saw yang berbunyi, “Sesungguhnya
adakalanya seorang hamba mengatakan satu kalimat yang tidak diperhatikan,
tiba-tiba ia tergelincir ke dalam neraka lebih jauh dari antara Timur dan
Barat.” (HR Bukhari, Muslim)
Sebuah
komentar, nampaknya memang sangat sepele. Tetapi bisa mengakibatkan
kejadian luar biasa yang sangat tidak diharapkan. Itu sebabnya, janganlah
seorang istri ataupun suami, memberi komentar sembarangan, tanpa dipikir
baik-baik, apalagi dalam keadaan emosi, ketika menanggapi masalah yang
diceritakan pasangannya.
Suatu
ketika, saat Rasulullah saw sedang berbincang-bincang dengan Aisyah ra,
beliau menceritakan serta menyanjung-nyanjung tentang kebaikan-kebaikan
istri pertamanya, Khadijah. Kebetulan, kondisi emosi Aisyah sedang kurang
stabil, sehingga timbul perasaan irinya mendengar sanjungan-sanjungan
suaminya itu. Maka keluarlah komentar pedas dari mulutnya, yang intinya
mengingatkan Rasulullah untuk tak selalu mengingat-ingat nenek tua
tersebut, karena Allah telah menggantikan bagi Rasulullah dirinya yang
masih gadis, muda dan cantik.
Sungguh
tak disangka, Rasulullah begitu tersinggung dengan komentar yang diucapkan
Aisyah tersebut. Dengan nada tinggi Rasulullah menyalahkan Aisyah tentang
ucapannya yang tak pantas itu, padahal hampir-hampir tak pernah beliau
menunjukkan kemarahan besar seperti itu. Mendengar itu Aisyah ketakutan
dan segera sadar akan kesalahannya. Sejak saat itu, dia sangat
berhati-hati menjaga lidahnya jika sedang membicarakan tentang Khadijah.
Dia sungguh tak ingin terpeleset lidah kembali dengan mengucap komentar
yang tak pantas sehingga menimbulkan kemarahan nabiyullah saw.
Pengaruhnya
Sangat Besar
Tak
dapat dipungkiri, bahwa ternyata ucapan dan pendapat istri atau suami di
rumah, ternyata bisa sangat besar pengaruhnya terhadap keputusan yang
diambil seseorang.
Seorang
istri bisa jadi akan membenci baju warna hijau selamanya, ketika suatu
waktu suaminya berkomentar kecewa melihat kerudung hijau yang dibeli istri
di arisan. “Ya...kok hijau?” Mungkin, suami tak bermaksud menunjukkan
ketidaksukaannya terhadap warna hijau, tetapi hanya igin mengingatkan,
bahwa sudah banyak kerudung milik sang istri yang berwarna hijau, mengapa
tidak memilih warna lain? Tetapi komentar singkat itu begitu membekas
dalam hati istri, sehingga sejak saat itu ia tak lagi pernah memilih baju,
tas, atau barang apa saja yang berwarna hijau.
Para
ummahatul mukminin telah mencontohkan, bagaimana mereka berusaha
berhati-hati menjaga lidahnya dalam memberi komentar atas
perkataan-perkataan Nabi. Ketika Muhammad pulang dari gua Hira' setelah
mendapat wahyu yang pertama, beliau dalam keadaan sangat ketakutan, mirip
seperti orang yang tak waras. Begitu sampai di rumah, beliau menceritakan
kisah pertemuannya dengan sosok ghaib yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Khadijah
yang bijaksana membiarkan suaminya menceritakan apa yang terjadi dan
mendengarkan dengan seksama. Khadijah tidak memotong perkataan suaminya
dan tidak gegabah memberi komentar. Setelah usai suaminya berkisah,
barulah dengan tenang istri mulia ini memberi komentar yang menyejukkan,
“Bergembiralah engkau, wahai putra pamanku, dan teguhkanlah hatimu. Demi
Tuhan yang diriku berada dalam kekuasaanNya, aku berharap engkau menjadi
seorang nabi bagi umat ini.”
Mendengar
komentar istrinya itu, Rasulullah merasa seakan hatinya yang panas
mendapat siraman air dingin, sehingga terasa sejuk kembali. Iapun segera
merasa tenang dan bisa tertidur dengan lelap karena kecapaian.
Atau
seperti Ummu Salamah, yang memberi komentar menyejukkan ketika Rasulullah
saw mengeluh kepadanya tentang perilaku sahabat-sahabat beliau yang
menentang kebijakannya menandatangani perjanjian Hudaibiyah, dan tak ada
yang mau diajak membatalkan rencana haji. Maka Ummu Salamah, sang istri,
pun berkomentar, “Ya, Rasulullah, maukah Anda berbuat begini? Rasulullah
keluar, kemudian jangan berbicara dengan seorangpun di antara mereka,
sampai ke tempat hewan, lalu Rasulullah sembelih sendiri unta itu, lalu
panggil tukang cukur dan mencukurkan rambut?” Setelah Rasulullah
mengiyakan komentar istrinya itu, terbukti kemudian seluruh sahabat pun
bersedia mengikuti perbuatan beliau.
|